3 Contoh Perusahaan Bangkrut dan Penyebabnya Bisnis Bangkrut

Contoh perusahaan bangkrut dan penyebabnya

Mengapa ada perusahaan yang bangkrut? Padahal ekonomi Indonesia kian tumbuh. Apakah bisnis bangkrut karena kurang pemiliknya kurang tekad? Berikut ini, kami jabarkan ulasan dan contoh perusahaan bangkrut dan penyebabnya.

Belajar dari Perusahaan Bangkrut di Indonesia

(via: Vecteezy.com)

Kalau disebut, banyak sekali perusahaan yang bangkrut selepas milenium tiba, mulai dari Nokia, Blackberry, Power Balance, bahkan sekelas Marvel Entertainment pun sempat merasa bisnis mereka bangkrut.

Bila kita melihat ke sana, sepertinya begitu naif, karena iklim usaha di negara perusahaan itu berasal tentu berbeda dengan kondisi di Indonesia.

Terlebih, lini usaha kombinasi tech dan manufacture seperti Nokia dan Blackberry, terlalu advance untuk kita sandingkan, dengan ragam bisnis di Indonesia, atau mungkin bisnis kamu saat ini.

Maka dari itu, kami rangkum tiga contoh perusahaan Indonesia yang bangkrut dan penyebabnya dalam artikel ini.


1. PT Sariwangi AEA (2017)

Perlu diketahui bahwa status PT Sariwangi Agricultural Estates Agency (Sariwangi A.E.A), serta anak usahanya yakni PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung (Indorub) telah dinyatakan pailit.

1. 1. Gagal Bayar Utang

(via: Wibw.com)

Permasalahan ini menguak sejak 2015, kala itu pihak PT Sariwangi dan Indorub (tergugat) diganjar utang sebesar Rp 1,05 triliun.

Sayangnya selama 2015 – 2017, keduanya tidak dapat membayarkan bunga maupun utang-nya sesuai tenggat waktu, yang seharusnya dibayarkan selama enam tahun pasca putusan pengadilan. Sehingga PT Sariwangi pun diputus pailit.

Dari hal ini, kita tahu bahwa dalam utang akan menempel dua konsekuensi yaitu tenggat bayar (waktu), dan beban utang (uang).

Pinjaman (utang) dapat memberi ‘dorongan’ untuk jalankan strategi bisnis. Namun, bila return dari strategi tersebut tidak mencukupi nilainya (uang), atau tidak secepat (waktu) itu bisa dinikmati. Maka, bisa saja pinjaman tersebut jadi bumerang untuk bisnis kamu.

1. 2. Inovasi yang tidak dibutuhkan

(via: Incimages.com)

Hutang tersebut muncul ketika pihak perusahaan memutuskan untuk melakukan ekspansi bisnis, berupa perluasan sistim pengairan (drainase), serta penambahan teknologi penyiraman.

Padahal, saat itu jumlah produksi tidak mengalami kekurangan, dan kebutuhan tetap tercukupi. Terlebih, pihak perusahaan telah memiliki riwayat hutang di masa sebelumnya.

Dalam kondisi demikian, ada inovasi yang tidak sejalan dengan kondisi keuangan perusahaan. Dimana, ada pembelanjaan yang signifikan, meski tidak ada urgensi.

Dari hal itu kita dapat belajar, bahwa terkadang banyak hal yang kita anggap ‘inovasi’, namun tidak benar-benar dibutuhkan. Yang lantas, bukan memberi peningkatan pada performa bisnis, malah membebankan usaha kita sendiri.



2. 7 Eleven (2017)

7 Eleven atau biasa disebut Sevel, ialah gerai waralaba atau lebih familiar dikenal dengan minimarket, yang berdiri sejak 2009 lalu di bawah nama PT Modern Sevel Indonesia, dan resmi dinyatakan jadi perusahaan yang bangkrut pada 2017 lalu.

2. 1. Perubahan regulasi terkait produk yang dijual

(via: Vecteezy.com)

Hingga tahun 2014, tercatat setidaknya ada 190 gerai Sevel di DKI Jakarta. Namun pada 2015 ada perubahan regulasi terkait peredaran minuman beralkohol, untuk gerai retail kecil.

Hal itu membuat Sevel kehilangan hampir 30% pendapatannya, yang umumnya dihasilkan dalam penjualan minuman beralkohol.

Dari sini kita bisa sadari bahwa mengandalkan satu jenis produk saja untuk bertahan di lini bisnis apapun, akan mudah tergoncang bila ada perubahan regulasi dan aturan terkait produk tersebut.

2. 2. Gagal bersaing di lini bisnis yang sama

(via: Bigcorpsk.com)

Karena senjata utama-nya (produk minuman beralkohol) tidak lagi dapat dijual, hampir tidak ada invosi pembeda antara Sevel dengan pesaingnya.

Meski Sevel menawarkan WiFi, dan tempat duduk, yang pada masa itu tidak dimiliki oleh pesaingnya, yang rupanya itu tidaklah cukup.

Sehingga, konsumen lebih memilih pada brand yang sudah lama dikenalnya, yang sudah lebih lama hadir di Indonesia, seperti Indomart, Alfamart, serta gerai retail lainnya.

Mengakibatkan secara bertahap, gerai Sevel mulai tidak lagi beroperasi semenjak 2016, dan perlahan bangkrut di seluruh Indonesia.

Utamanya, karena biaya operasional tetap tinggi, namun cash flow sangat rendah. Tentu karena adanya biaya sewa bangunan yang menyediakan ‘kenyamanan’ berupa WiFi dan area duduk tadi, membutuhkan biaya.

Di sini kita bisa pahami bahwa pada akhirnya, semua hal yang dibutuhkan oleh pelanggan ialah produk, bukanlah fasilitas. Dimana, pengembangan dan penyajian produk yang dibutuhkan lah, yang akan membuat pelanggan bertahan.



3. Princess Cake – Syahrini (2019)

Princess Cake menjadi salah satu bisnis artisan cake yang gencar selepas era media sosial Instagram membumi di akhir tahun 2015 lalu.

Dimiliki oleh public figure kenamaan Syahrini, bisnis yang diluncurkan pada 2017 lalu, sempat menghebohkan setelah dibuka di Bandung, Bogor, dan beberapa kota besar lainnya.

Sempat menjadi pusat perhatian dan selalu diiringi dengan antrean yang mengular. Namun, kini bisnis itupun bangkrut pada 2019, dan hanya menyisakan bangunan-bangunan yang tidak terurus.

3. 1. Bisnis hanya bergantung pada trend

(via: Bairdwealth.com)

Pada 2017 lalu, memang beberapa artis kenamaan ibu kota beramai-ramai membuka usaha cake, dengan label artisan cake.

Mulai dari Nagita Slavina dengan Gigiet Cake, lalu ada Ayu Tingting dengan Kuenya Ayu, serta Chelsea Olivia dengan Semarang Wife Cake, dan bahkan Semarang Thal Cake milik Sarwendah, isteri dari Ruben Onsu.

Kesemua nama tersebut masuk dalam bisnis artisan cake bangkrut, yang nafasnya tidak sampai 5 tahun pasca berdiri.

Mengapa hal itu terjadi? Jelas karena tidak semua trend bertahan cukup lama di benak pelanggan. Sebut saja trend kue cubites kepal, bola-bola ubi, dan beragam sajian lainnya yang dengan mudah hilang dari ingatan kita.

Bila kita berharap trend yang kita tumpangi akan ‘awet’ layaknya trend boba, jelas itu adalah kesalahan besar. Karena perlu diingat, eksistensi boba telah lama ada, sebelum jadi trend.

Maka, dibandingkan harus ‘numpang’ suatu trend, lebih baik jadi pionir, atau jadi the last man standing di lini produk tersebut.

3. 2. Produk hanya mengandalkan ‘nama besar’

Kita paham, banyak produk makanan, atau produk apapun yang mungkin kita bisa lebih ingat brand ambasador-nya, dibandingkan produknya.

Sama halnya dengan produk artisan cake yang dimiliki Syahrini ini, nama besarnya yang kala itu ramai diperbincangkan selepas isu kedekatannya dengan Reino Barack itu memang berhasil menggaet konsumen, secara instan.

Tapi tidak bertahan lama, bukan karena sosok Syahrini yang juga kian redup. Tetapi secara kualitas, memang hampir tidak ada yang spesial. Bahkan kalah jauh dari segi rasa, dengan pesaing terdahulunya.

Disini kita harus sadari bahwa konsumen tidak akan memilih suatu produk karena didompleng nama besar semata, melainkan perlu adanya rasa dan kualitas yang mendukung, untuk meyakinkan mereka.


Kesimpulan

Dari beragam nama dan contoh perusahaan bangkrut dan beberapa penyebabnya di atas, bisa kita pahami bahwa suatu bisnis bisa bangkrut bukan semata-mata karena ‘kurang tekad’ dari pemiliknya.

Tapi banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi suatu perusahaan atau bisnis bisa bangkrut, baik itu terkait pemodalan, inovasi dan strategi bisnis, regulasi, dan bahkan trend.

Dari beberapa contoh perusahaan bangkrut dan penyebabnya di atas tersebut, kita bisa ketahui pula bahwa sebenar-benarnya alasan mengapa konsumen membeli suatu produk, ialah mereka membutuhkannya.

Bukan karena ‘gimmick’, atau fasilitas tambahan baik itu tempat ataupun prasarana lainnya. Sehingga hanya produk yang berkualitas lah yang mampu jadi alasan satu-satunya agar suatu perusahaan terhindar dari bangkrut.